Etika Perbedaan Pendapat Dalam Islam

kali dibaca


Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Karena manusia dibekali akal untuk membedakan suatu yang manfaat dari yang madlorot untuk kehidupannya di dunia dan akhirat. Banyak pertanyaan mengenai siapa sesungguhnya manusia. Akan tetapi tidak ada satupun yang dapat mendefinisikannya dengan sempurna. Bahkan ilmuwan pun tidak dapat memberikan jawaban. Meski demikian beberapa diantara mereka terdapat tokoh yang mengupayakan untuk mengenali siapa sesungguhnya manusia. Seorang dokter terkemuka dunia dari daratan Perancis, Alexis Carrel (1873 – 1944 M), misalnya, mengatakan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling unik. 


Nurcholish Madjid, atau yang lebih akrab disapa Cak Nur, menyatakan bahwa manusia atau  al-Insan, adalah ciptaan Allah yang termulia. Sebab manusia dikaruniai akal oleh Allah SWT. Dengan akalnya ia mampu menemukan kebenaran dan membedakannya dari kebatilan. Karenanya ia diberi tanggung jawab untuk menjadi kholifah fi al ardh (pemimpin di muka bumi). Dengan demikian manusia mempunyai kewajiban dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan melalui berbagai cara dan metode. Perbedaan cara dan metode inilah yang memicu terjadinya perbedaan pendapat dan cabang ilmu pengetahuan.


Tradisi perbedaan pendapat ini dalam Islam juga telah berlangsung sejak masa kenabian. Nabi beberapa kali menghadapi “perbedaan pendapat” antar para sahabat. Salah satunya, ketika sahabat Nabi hendak pergi ke Bani Quraidzah. Nabi berpesan kepada mereka agar tidak shalat ashar sebelum sampai ke Bani Quraidzah. Meski mereka memahami pesan itu dengan baik, ternyata di tengah perjalanan, mereka berbeda pendapat. Lantaran jarak tempuh yang masih jauh ke Bani Quraidzah, akhirnya sebagian dari mereka memutuskan untuk shalat ashar di tengah perjalanan sebelum sampai ke Bani Quraidzah. Sementara sahabat lainnya, menolak untuk shalat sebelum sampai di Bani Quraidzhah. Sesampainya di Madinah, mereka menghadap kepada Rasulullah untuk mengadukan peristiwa tersebut sambil mengharap mendapatkan kebenaran jawaban dari salah satu pendapat mereka. Ternyata Nabi membenarkan keduanya. Hal ini menunjukkan sikap toleran Nabi dan etika beliau menghadapi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat saat itu. 


Karena itulah tradisi perbedaan pendapat dalam Islam berlangsung turun temurun dan dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi. Misalnya seperti yang terjadi di pesantren. Salah satu perbedaan pendapat yang sering terjadi di pondok pesantren adalah saat kegiatan bahtsul masa’il atau musyawarah. Kegiatan ini merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh para santri untuk mengkaji dan mendalami keilmuan di bidang agama secara bersama-sama. Diskusi keilmuan yang dilakukan oleh para santri di lingkungan pondok pesantren ini, selain merupakan ungkapan rasa syukur atas capaian keilmuan santri, juga menjadi ajang menunjukkan eksistensi dan kualitas keilmuan mereka. Kegiatan semacam ini penting dilakukan oleh para santri. Karena dengan kegiatan ini mereka dapat mengasah nalar kritis serta dapat menjadikan para santri mampu berpikir semakin mendalam dan tajam. Tradisi musyawarah ini juga mengajarkan kepada para santri tentang sikap terbuka dan saling menghargai. 


Perbedaan pendapat dan pikiran memang sudah menjadi keniscayaan. Karena itu, penting bagi kita untuk memahami etika dalam menghadapi perbedaan tersebut. Etika dalam menghadapi perbedaan dalam agama Islam sudah dicontohkan oleh Nabi seperti yang terekam pada hadis di atas. Selain itu beberapa ulama juga memberikan teladan yang sangat apik. Seperti yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika mengemukakan pendapatnya. Ia dengan bijaksana mengatakan: رأيي صواب يحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب


“Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selainku itu salah, tapi bisa jadi benar”. Perkataan diatas menunjukkan sikap keterbukaan Imam Syafi’i dalam menerima pendapat orang lain. Selain sikap keterbukaan, ucapan Imam Syafi’i di atas juga meneladankan sikap tawadlu’. Hal itu tercerminkan dalam perkataan ويحتمل الخطأ “Bisa Jadi salah”. Inilah yang menjadi pijakan bahwa seorang yang faqih itu hendaknya tetap selalu tawadlu’ dan tidak sombong serta tidak mengklaim pendapatnya adalah pendapat yang paling benar. 


Pada hakikatnya, esensi sebuah forum diskusi keilmuan, bahtsul masa’il, atau musyawarah adalah mencari kebenaran atau li idzhar al haq. Bukan mencari sebuah ketenaran diri dengan memamerkan kemampuan retorika. Bukan pula menjadi sebuah ajang permusuhan lantaran adu pendapat. Adanya perbedaan pendapat justru memberikan pilihan lain atau menjadi alternatif jalan keluar dari suatu permasalahan yang sedang terjadi. Hal ini sesuai dengan ungkapan Nabi Muhammad saw : اختلاف أمتي رحمة "Perbedaan pendapat pada umatku adalah Rahmat ". Wallahu a’lam bishsahawab.


Penulis:

M. Ulil Albab, Santri Mansajul Ulum dan Mahasiswa Ipmafa, Pati


Terbit Pada:

Kolom Jum'at VIII Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Cebolek Kidul, Pati, Jawa Tengah




Previous Post Next Post