Khutbah Jum'at KH. Ahmad Nadhif Abdul Mujib: Jangan Takut!

kali dibaca


Hadirin Rohimakumullah


Dalam sebuah riwayat dari Ka’bul Ahbar, tertulis dalam kitab Taurat, firman Allah yang panjang dan akan kita bicarakan dalam kesempatan ini satu persatu. Dalam kitab tersebut, yang pertama Allah berfirman:


يا ابن آدم، لا تخافنَّ من ذي سلطان، ما دام سلطاني باقيًا، وسلطاني لا ينفد أبدًا


Wahai Anak Adam jangan engkau ketakutan dengan penguasa manapun selama kekuasaanKu ada dan memang kekuasaanKu tak akan pernah habis selama-lamanya.


Firman ini sangat jelas melarang kita ketakutan kecuali kepada Allah. Tentu harus dibedakan antara ketakutan dan ketaatan kepada penguasa atau pemimpin. Sebab ketaatan kepada pemimpin ternyata include atau satu paket dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya.


Allah berfirman dalam Alqur’an surah An Nisa ayat 59:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا


Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.


Dalam ayat tersebut perintah taat kepada Ulil Amri atau penguasa/pemimpin dibarengkan dengan ketaatan kepada Allah dan RasulNya, di mana para mufassir melihat bahwa kata "wa ulil amri minkum" tidak dipisah dengan perintah "athi’u" yang lain sehingga karenanya "athi’u" itu sama wajibnya antara kepada Allah, RasulNya dan kepada para pemimpin.


Larangan ketakutan seperti dalam pernyataan Taurat di atas dapat difahami melalui penggalan bagian ayat 54 surah Al Maidah: "Walaa yakhofuuna lawmata laaim", tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Sehingga karenanya, dalam surah Yunus ayat 62 ditegaskan:


اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ


Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.


Haidirin Rohimakumullah


Berbicara soal ketakutan, penyebabnya bisa berbagai hal. Di antaranya adalah ketakutan karena pangkat dan jabatan bisa terancam hilang atau tergerser. Ketakutan semacam ini bisa menghinggapi diri seorang bawahan maupun atasan.


Ketakutan seorang bawahan akan dimutasi atau dipindahkan ke bagian yang kurang nyaman, sebenarnya ada sedikit permakluman, atau dengan kata lain, ketakutan seperti itu kemungkinan cenderung bisa dimaklumi. Meskipun sekali lagi bahwa sesuai firman-firman Allah di atas tadi, ketakutan yang bukan karena Allah adalah ketakutan yang terlarang. Apalagi dalam sebuah hadits dinyatakan:


أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر


Sebaik-baik jihad adalah berkata benar di hadapan penguasa yang dhalim.


Memang hadits ini jelas tidak menyuruh seorang bawahan untuk cenderung memberontak atasan. Bahwa taat kepada atasan tetaplah wajib. Adapun jika ditemui seorang atasan yang berlaku dhalim, maka banyak cara yang ditawarkan untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang beradab, bertanggung jawab dan dengan kritik yang membangun.


Hadirin Rohimakumullah


Yang barangkali lebih mengherankan adalah ketakutan yang menghinggapi seorang atasan atau seorang kepala kantor atau kepala pemerintahan di tingkatan apapun. Ketakutan yang seperti ini jelas lebih susah dimengerti apalagi dimaklumi.


Seorang kepala atau atasan tentu memiliki sejumlah kewenangan dan sekaligus sejumlah kekuatan pendukung yang sesuai dengan tugas dan jabatannya. Maka untuk apa seorang atasan seperti itu masih dihinggapi sejumlah ketakutan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya? Untuk apa ia khawatir akan bayang-bayang yang masih semu dan masih serba tak menentu? Untuk apa mengulur-ulur waktu menunda pelaksanaan keputusan yang sudah diambil dan didukung ersama oleh berbagai fihak?


Ketakutan seorang atasan seperti ini justru semakin menimbulkan berbagai prasangka yang kurang baik, juga fitnah yang akan segera merebak. Dalam hal ini, Baginda Nabi SAW juga sudah pernah menyatakan:


اتقوا شر الفتنة


Waspadai keburukan yang ditimbulkan oleh fitnah. 


Hadirin Rohimakumullah,


Berikutnya ketika fitnah itu semakin merebak, maka akan menjelma sebagai bencana. Dan agama kita telah mengajarkan bahwa: suatu bencana itu jika turun akan merata mengenai siapapun baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah samasekali.


Biasanya, ketakutan seorang atasan atau kepala atau pimpinan seperti itu, dibarengi dengan kekhawatiran tidak terpilih untuk masa jabatan berikutnya atau bisa jadi dalam ranah suudhdhon ia kemungkinan besar menyimpan sesuatu yang dilematis seperti makan buah simalakama; dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati.


Kalau sudah begini keadaannya, maka mari kita simak pernyataan Taurat berikutnya:


يا ابن آدم، لا تخش من ضِيق الرزق وخزائني ملآنة، وخزائني لا تنفد أبدًا.


Wahai Anak Adam, jangan khawatir dengan sempitnya rezeki padahal Gudang rezekiKu penuh sepenuh-penuhnya dan tak akan habis selama-lamanya.


Ketakutan tidak terpilih untuk masa jabatan berikutnya karena pertimbangan seperti makan buah simalakama seperti di atas itu, jika kita urai maka akan ditemukan muaranya, yaitu takut akan kehilangan rezeki. Padahal dalam uraian di atas telah ditegaskan bahwa Allah melarang kita khawatir akan rezeki selama Gudang rezeki Allah masih penuh dan tidak akan habis selama-lamanya.


Kita manusia yang penuh khilaf ini semakin hari semakin terbebani oleh kehilafan-kekhilafan lain yang seolah-olah ada alasannya.


Dalam bagian lain, Allah juga telah menyatakan:


وقسمت لك رزقك؛ فلا تتعب، فإن أنت رضيتَ بما قسمتُه لك، أرحتُ قلبك وبدنك، وكنتَ عندي محمودًا، وإن لم ترض بما قسمتُه لك، فوعزتي وجلالي لأسلطنَّ عليك الدنيا؛ تركض فيها ركض الوحوش في البرية، ثم لا يكون لك منها إلا ما قسمته لك، وكنت عندي مذمومًا.


Wahai Anak Adam, Dan Aku telah memberimu bagian rezeki, maka engkau tak perlu bersusah payah (terutama secara batin). Dan jika engkau puas terhadap bagian rezekimu, maka akan aku beri ketenangan dan ketentraman jiwa seraya engkau menjadi terpuji di hadapanKu. Adapun jika engkau tidak puas dengan bagian rezeki yang Aku berikan padamu, maka demi Kemuliaan dan KeluhuranKu, Aku akan menjadikan dunia ini menguasaimu hingga engkau berlari-lari seperti monster di daratan dan pada akhirnya engkau tetap saja hanya akan mendapat bagian rezekimu dan engkau menjadi tercela di hadapanKu!


Hadirin Rohimakumullah


Pernyataan Allah yang terakhir itu begitu jelas di telinga kita. Tinggal hati kita harus diusahakan untuk mendengarkan dan mengindahkannya dengan seksama. Apalagi persoalan percaya kepada rezeki Allah, oleh Imam As-Sakandary dalam kitab Tajul Arus dinyatakan bahwa “ragu kepada rezeki adalah juga ragu kepada Dzat Yang Maha Memberi Rezeki”!


Na’dzubillahi min dzalik.


بارك الله لي ولكم في القرآن الكريم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل مني ومنكم تلاوته إنه هو الغفور الرحيم، وقل رب اغفر وارحم وأنت أرحم الراحمين






Previous Post Next Post