Meneladani Semangat Hijrah Nabi

kali dibaca


Penulis:

Intihob Sudh Savirta, Alumni Mansajul Ulum Cebolek Kidul Margoyoso Pati, 2021


Terbit Pada:

Kolom Jum'at ke II, 13 Agustus 2021, Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Cebolek Kidul, Pati, Jawa Tengah


Hari Senin kemarin, umat Islam merayakan pergantian tahun Hijriah. Berawal dari surat balasan Abu Musa Al-Asy’ari kepada Khalifah Umar bin Khattab, antara lain beliau menulis, "Wahai Amirul Mukminin, surat Baginda sudah kami terima, disitu tertulis bulan Sya’ban, tapi kami tidak tau, apakah Sya’ban tahun ini, atau tahun kemarin ? “. Kalimat singkat itu dirasakan khalifah Umar sebagai "colekan" sehingga membuka pikirannya untuk menetapkan penanggalan kalender Islam untuk surat-menyurat dan urusan-urusan resmi negara. Peristiwa hijrah Nabi menjadi momentum inspiratif sebagai awal kalender Islam. Oleh karena itu, dinamakan tahun Hijriah karena diambil dari kata “hijrah”. Semenarik apakah peristiwa hijrah itu hingga dijadikan awal kalender Hijriah?


Dakwah Nabi dalam menyerukan agama Islam tidaklah berjalan mulus. Nabi Muhammad SAW yang membawa agama yang masih “asing” di tengah-tengah kaum Quraisy mendapat banyak penolakan, bahkan dari sebagian kerabat beliau. Tekanan terhadap Nabi dan umat Islam tak pernah bergeming setapak pun. Kaum kafir Quraisy Mekah tambah menindas dengan beragam penyiksaan yang menambah penderitaan di mana-mana. Hingga pada pertengahan tahun ke-5 kenabian, seolah tidak ada tempat berlindung bagi  umat muslim, maka  turunlah wahyu kepada Nabi untuk berhijrah ke Habasyah, atau sekarang dikenal dengan nama Etiopia. 


Hijrah ke Habasyah dilaksanakan dua kali. Hijrah gelombang pertama dilakukan pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian. Hijrah ini diikuti oleh 11 laki-laki dan 4 perempuan, dikepalai oleh Utsman bin Affan yang membawa Ruqayyah putri Nabi Muhammad SAW. Beberapa saat kemudian, orang-orang yang berhijrah ke Etiopia mendapat angin segar, ada kabar bahwa penduduk kota Mekah sudah masuk Islam. Mendengar kabar itu, sebagian mereka pulang ke Mekah. Sesampainya di Mekah, ternyata kabar itu dusta. Bukan sambutan yang mereka terima, justru penindasan kaum kafir Quraisy semakin menjadi-jadi. Melihat situasi demikian, Rasulullah SAW mengintruksikan umatnya yang ada di Mekah untuk berhijrah ke Habasyah. Gelombang kedua kali ini diikuti lebih banyak dari gelombang pertama, sekitar 82 laki-laki dan 18 perempuan. Tidak hanya berhenti disitu, usaha kaum kafir Quraisy untuk menghancurkan umat Islam masih terus berlanjut. Mereka mengutus dua orang pilihan untuk berdiplomasi kepada Raja Habasyah agar memulangkan kaum muslimin ke Mekah. Di hadapan Raja Habasyah yang bernama An-Najasyi, terjadilah dialog antara utusan kaum kafir Quraisy, yaitu ‘Amr Bin ‘Ash dan Abdullah Bin Abi Robi’ah, dan utusan kaum muslimin, yaitu Ja’far Bin Abi Tholib. Tetapi diplomasi tersebut tak membuahkan hasil bagi utusan kaum Quraisy. Alhasil, mereka pulang ke Mekah dengan tangan hampa.


Tekanan kaum kafir Quraisy tidak sampai disitu saja. Setelah Paman Nabi, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah, wafat, mereka tak merasa ada lagi halangan lagi untuk menindas Nabi Muhammad SAW. Kejadian itu terjadi pada tahun ke 10 kenabian. Karenanya tahun itu dijuluki ‘am al-huzn (tahun kesedihan).  Namun meski tekanan demi tekanan bertubi-tubi dihunjamkan oleh kaum kafir Quraisy, pengaruh dakwah Nabi semakin meluas. Dengan kesabaran dan kelembutan, sedikit demi sedikit dakwah Nabi tidak hanya didengar di penjuru kota Mekah, tetapi juga menyeruak sampai ke Yatsrib, atau sekarang dikenal dengan kota Madinah. Setelah itulah terjadi peristiwa penting, yaitu Perjanjian ‘Aqobah pertama pada tahun 12 kenabian, dan Perjanjian ‘Aqobah kedua pada tahun 13 kenabian tentang kesepakatan masyarakat Yatsrib dalam melindungi Nabi.


Maka tatkala gerbang kota Madinah telah terbuka bagi umat Islam, secara periodik para sahabat mulai menuju kota Madinah hingga tak tersisa umat Islam di Mekah kecuali Nabi, Abu Bakar, Ali dan sedikit sahabat yang ditahan oleh kaum Quraisy. Desas desus umat Islam berhijrah secara sembunyi-sembunyi akhirnya terdengar oleh kaum kafir Quraisy.  Mereka murka, hingga berencana membunuh Nabi Muhammad SAW. Saat itulah turun wahyu yang memerintahkan hijrah ke Madinah. Nabi beserta Abu Bakar menuju ke kota Madinah, sedangkan Ali bin Abi Thalib menggantikan posisi Nabi di tempat tidur rumah beliau yang sudah dikepung kaum kafir Quraisy. Sebelum sampai Madinah, beliau singgah dahulu di Gua Tsur. 


Sesampainya di Madinah, beliau membangun peradaban umat Islam di Madinah, salah satunya membangun masjid, yang kita kenal sekarang dengan Masjid Nabawi. Bersama Muhajirin dan Anshor, beliau membangun budaya, karakter, dan ekonomi penduduknya. Beliau juga membangun persaudaraan sesama umat Islam dan sesama manusia, hingga mencetuskan sebuah kesepakatan bersama, Piagam Madinah. Piagam ini menjadi titik temu bagi masyarakat Madinah yang beragam. Hijrah inilah yang menjadi momentum inspiratif untuk awal kalender Hijriah.


Di masa yang sudah aman dan tentram seperti sekarang ini, dimana kita umat Islam sudah tenang beribadah, bisakah kita meneladani Hijrah Nabi ini? 


Dalam Shohih Bukhori, Ada Hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berbunyi : “La hijrota ba’da al-fathi, lakin jihaadun wa niyyatun.” (Tidak ada hijrah lagi setelah pembebasan kota Mekah, tetapi yang ada hanya jihad dan niat). Di situasi yang aman ini kita memang tak perlu lagi berhijrah, dalam artian berpindah dari suatu daerah ke daerah lain, tetapi kita tetap harus meneladani nilai-nilai hijrah yang tersirat. 


Dahulu, Nabi dan para sahabatnya selalu dakwah menyebarkan agama Islam dimanapun dan kapanpun. Sekarang, kita juga harus selalu menyebarkan nilai-nilai Islam, salah satunya di media sosial yang menjadi lalu lalang informasi di masa kini. Semangat Nabi dalam mengubah tatanan kehidupan menjadi lebih baik, peradaban Islam yang lebih maju, sehat dan adil layak kita teruskan sampai sekarang. Bagaimana Nabi menawarkan ajaran Islam sebagai alternatif dan solusi kehidupan dan hidup bertoleransi layak kita terapkan di tengah-tengah rakyat Indonesia yang beragam. Manusia yang progresif dan dinamis harus selalu memegang semangat hijrah, karena kehidupan ini terus bergerak dan kadang tak terduga. Ada juga nilai hijrah yang dari dulu sampai sekarang masih kita terapkan, yaitu sebagaimana yang ada dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr : “Al-muhaajir man hajaro maa naha Allahu anhu” ( orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah).


Wallahu a’lam. 




Previous Post Next Post