Antara Pencapaian, Kepuasan, dan Penerimaan

kali dibaca


Cerpen - Saat beberapa Guru menanyakan tentang cita-cita, hampir semua murid mengacungkan jari seraya mengucap secara serentak satu kata yang berbeda.


“Dokter!”


“Polisi!”


“Tentara!”


“Pemain Bola!”


“Pramugari!”


“Pilot!"


“Hokage!”


Dan aku berada di antara mereka, membentuk harmoni yang entah sadar atau tidak, membuatku ikut mengucap satu kata krusial itu.


Meskipun aku melihat ada beberapa murid yang terdiam, tapi aku yakin dalam hati mereka tetap mengucapkan satu kata itu. Entah cita-cita apa yang dikatakan dalam hati mereka, tapi yang pasti semua mempresentasikan pengharapan yang begitu besar.


Tanpa mengenal lelah dan ngantuk, waktupun terus berjalan. Menjadi saksi bisu setiap kata yang diucapkan setiap murid tentang cita-cita. Ada yang berjalan mengiringi waktu, ada yang terkadang duduk terdiam lalu berlari mengejar waktu, ada yang terbaring tak kuasa meneruskan langkah bersama waktu, bahkan ada yang tertelan lupa hingga saat waktu menoleh kebelakangpun tak lagi mengingat pernah menjadi saksi satu kata tersebut.


Lalu bagaimana dengan satu kata yang kuucapkan?


Selama berjalan mengiringi waktu, belakangan aku baru mengetahui bahwa satu kata dariku telah terkena wabah labil cita-cita. Dulu aku ingin jadi itu, saat berjalan aku ingin jadi ini, dan sekarang aku ingin jadi diriku sendiri. Hingga telah kumantapkan satu kata yang ku putuskan untuk jadi cita-citaku.


Hingga pada akhirnya waktu dengan begitu setia mengantarkanku pada pencapaian, terwujudnya cita-cita.


Bicara soal pencapaian, mungkin ada yang mendiskreditkannya dengan materi, atau lebih jelasnya mereka mengukurnya dengan uang. Secara realita, akupun tak menampik stereotip itu. Tapi aku juga tidak sepenuhnya menerimanya begitu saja. Ada hal lain yang bisa dijadikan ukuran dalam sebuah pencapaian. Dan akupun tak menampik pula jika hal lain ini ada yang menyebutnya sebagai sang idealis. Nah, dalam hal ini aku menempatkan diri pada posisi telah berada pada pencapaian idealis tersebut.


Lantas, bagaimana selanjutnya?


Sementara pertanyaan itu belum terjawab, waktu masih sama, tetap berjalan secara konstan tapi tak instan.Akupun mencoba menjawab pertanyaan tersebut, tapi jawabanku ternyata menimbulkan beberapa pertanyaan lanjutan.


Apakah aku benar telah berada pada sebuah pencapaian?


Apakah aku benar telah berada pada titik kepuasan?


Apakah aku sudah saatnya menerima penerimaan?


Setelah aku rangkum, ada yang memang sudah terpenuhi dalam diriku. Tentang pencapaian yang telah kucapai, tentang kepuasan yang telah membuat diriku puas, dan tentang penerimaan yang membuatku menerima semua yang telah diberikan Tuhan. Tentu saja semua ini berdasarkan sudut pandangku.


Nah, pada titik ini aku mulai bertanya pada diriku, apakah harus meneruskan mengiri waktu yang terus berjalan?


Melihat beberapa temanku yang begitu konsisten mengiringi jalannya waktu, aku sempat merasa bahwa diriku juga harus ikut mengiringinya. Kembali mengarungi pencapaian untuk memperoleh kepuasan hingga pada titik penerimaan.


Akan tetapi.


Di tengah kekompakan mereka yang begitu kompak berjalan bersama waktu, aku tersadar ada hal yang telah kulupakan. Hal tersebut adalah prioritas.


Mungkin teman-temanku memang memiliki prioritas untuk melanjutkan perjalannnya bersama waktu. Menapaki pencapaian yang semakin tinggi. Menuju kepuasan yang paling eksis, hingga berada pada puncak penerimaan yang paling menerima. Tapi, itu adalah sudut pandang mereka.

Aku bukan mereka.


Kutetapkan pilihanku. Aku berhenti membersamai mereka. Bukannya aku berhenti, tapi aku hanya membelokkan arah. Terus berjalan ke jalan yang menjadi prioritasku. Menjadi diri sendiri.

Saat menapaki jalan inilah aku memutuskan untuk menjadi hal yang biasa. Melepaskan diri dari siklus yang kebanyakan ada. Dan menjadi diri sendiri. Menekuni hobi yang pernah pudar, memanfaatkan kesenangan menjadi sebuah peluang, dan tetap mengarungi arus untuk sekedar menghindari penolakan alam.


Apakah ini berjalan konstan seperti waktu?


Entah sudah terlanjur dari pengalaman, atau ada hal lain yang tidak terjangkau kemampuanku, ternyata panggilan kembali memanggilku untuk kembali menjadi diriku berdasarkan kemampuan.

Mereka membutuhkanku, lebih tepatnya membutuhkan kemampuanku. Menjadi bagian dari priorotas mereka. Atau hanya sekedar minta tolong atas nama persahabatan.


Aku yang sudah memilih untuk menjadi diri sendiri, kembali ditarik oleh magnet yang begitu kuat. Semakin aku menolaknya, ada tarikan yang begitu kuat yang mengharuskanku untuk mendekati sumber magnet tersebut.


Dari sini aku belajar. Melepas kemampuan yang telah aku raih yang mulanya aku pikir itu adalah sebuah pencapaian untuk kepuasan dari penerimaan, ternyata tak bisa dilepaskan. Ada hal lain yang entah itu hal asing atau hal yang sudah aku fahami sebelumnya, akan menarik kembali kemampuanku. Menjadi bagian dari siklus kehidupan lagi, dan kembali mengiringi alunan langkah sang waktu dalam sudut pandang yang tidak bisa aku tentukan.


Selamat datang kembali, para pencari Pencapaian.

Selamat berjuang menuju Kepuasan.

Dan selamat menikmati atas segala Penerimaan.


Karya: Mas Gakusei

Tulis Komentar

Previous Post Next Post