Hikmah Dari Kisah Hayyu Bin Yaqzan (Ibnu Thufail)

kali dibaca


Penulis:

Iseh Hidayat, Muhibbun Mansajul Ulum dari Kudus, Jateng


Terbit Pada:

Kolom Jum'at VII Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Cebolek Kidul, Pati, Jawa Tengah


Alkisah ada seorang manusia yang sejak bayi terbuang di hutan. Ia diasuh oleh seekor Kijang. Sebut saja anak manusia itu adalah H. Karena hidupnya selalu berada di tengah sekawanan binatang maka nalurinya adalah seorang hewan. Kehidupan itu dijalani hingga menginjak dewasa, sampai pada suatu saat hewan pengasuhnya mati. Dari sini kelebihannya sebagai manusia terlihat. 


Melihat pengasuhnya mati ia jadi penasaran. Mengapa ia tak bisa bergerak? Mengapa ia tidak lagi makan? Mengapa ia tidak lagi menyapanya? Semua interaksi yang selama ini dilihat dan dirasakan dari pengasuhnya kini tak lagi ia temukan. Maka otaknya mulai berpikir tentang apa yang menjadi penyebabnya.


Kemudian ia mengamati bangkai pengasuhnya. Tubuhnya dibolak-balik, digoyang, dan dipukul. Hasilnya sama saja. Tubuh bangkai itu tetap tidak merespon. Lalu ia bedah tubuhnya dan ia lihat isinya. Ia mencoba mencari dengan seksama di mana bagian yang salah. Berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya. Mengapa ada rongga di dalam? Mengapa di dalam banyak bagian-bagian tapi menempel pada dinding? Mengapa dari bagian mulut tersambung dengan organ memanjang dan berakhir di pembuangan? Dan masih banyak lagi pertanyaan di pikirannya.


Semakin hari bau yang ditimbulkan bangkai itu makin menyengat. Kemudian mulai membusuk dan bermunculan hewan-hewan kecil (belatung) yang menggerogoti. Ini semakin menambah penasaran H.


Hari demi hari, bulan pun berganti hingga tahun pun bertambah. Setelah sekian lama H mengamati bangakai pengasuhnya. Ia tertegun dan berpikir keras melihat bangkai yang semakin lama habis hingga menyisakan tulang belulang belaka.


Pertanyaan besarnya, apa yang terjadi dan mengapa? Pertanyaan demi pertanyaan terus saja hadir di pikirannya. Ia pun berpetualang kesana kemari di hutan belantara nan luas. Di dalam perjalanan maupun persinggahannya selalu muncul banyak pertanyaan yang berberbeda.


Semakin lama pertanyaanya meningkat. Ia berpikir tentang benda-benda besar (bumi, bulan, matahari, langit, benda-benda angkasa dan lain sebagainya), tentang hukum kausalitas (sebab akibat). Hingga pada akhirnya ia menemukan adanya satu Dzat yang tak terpengaruh oleh apapun (yaitu Dzat Wajibul Wujud).


Suatu ketika H bertemu dengan seseorang dari luar hutan. Seseorang yang datang ke hutan untuk melakukan uzlah atau pertapaan. Dia adalah seorang sufi yang kemudian mengenalkan dirinya bernama AF. Dalam pertemuan ini keduanya saling berdiskusi tentang banyak hal. Dalam diskusi tersebut ketemulah persamaan tentang apa yang ditemukan H dengan isi al-Quran yang disampaikan oleh AF.  


Kemudian diajaklah H keluar hutan oleh AF. Lalu mereka berdua mengajarkan ilmu yang ia peroleh kepada masyarakat. Namun kebanyakan masyarakat menolak ajaran dari H. Masyarakat lebih menerima al-Quran yang disampaikan oleh AF. H pun kembali ke hutan. Ia sekarang tahu bahwa Agama dan filsafat adalah sama benarnya. Tetapi Agama lebih bisa disampaikan secara luas. Sementara filsafat hanya bisa diterima oleh orang tertentu saja. Meski demikian pengetahuan akal yang sehat sejatinya tak akan bertentangan dengan kebenaran dan perintah syariat. Pokok dari semua hikmah pun bersumber dari syariat.


Wallahu a'lam bisshawab. 

Previous Post Next Post