Bisakah Aku Menjadi Harapan Bangsa?

kali dibaca

Penulis: Muhammad Ainun Nafi’/1803016112/KKN RDR 77 UIN WALISONGO 


Sering kita (pelajar) mendengar, kamu adalah harapan bangsa yang diharapkan mampu menjadi penerus bangsa kita di waktu yang akan datang kelak. Akan tetapi apakah kita sanggup mewujudkan julukan ataupun jargon tersebut? Padahal kita hanya seorang murid yang tak luput dari arahan guru di kelas, tak luput dari sarana dan prasarana yang kurang memadai. Apakah kita bisa keluar mengembangkan diri kita sendiri, atau hanya diam dan mengikuti alur yang mereka skenariokan?


Meningkatkan potensi para generasi muda tanpa adanya penghalang kesenjangan sosial merupakan dambaan semua orang. Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) bagi mereka (pihak pihak) yang mempunyai tanggung jawab terhadap nasib para harapan bangsa di Indonesia ini. Meningkatkan potensi para generasi muda tanpa adanya halangan dan hambatan, merupakan cita cita yang semua orang menginginkannya. Dimana setiap siswa berhak mengekspresikan bakat, minat serta potensi yang ada di dalam dirinya. Namun, pengembangan bakat, minat serta potensi murid kalau tidak diimbangi dengan adanya sarana prasarana yang memadai, pasti hasilnya tak akan maksimal dibandingkan dengan ada nya sarana dan prasarana yang mendukung. 


Sebenarnya, bagaimana sistem pendidikan itu sendiri? Pendidikan merupakan proses melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Pada dasarnya semua penduduk di Indonesia mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahun di sekolah menengah pertama. Sistem pendidikan itu adalah proses belajar mengajar yang berorientasi pada nilai, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Namun apa yang terjadi, banyak anak anak yang tidak bisa mengikuti program wajib belajar selama sembilan tahun, bahkan ada banyak yang tidak bisa mencicipi bangku pendidikan sama sekali.


Senada dengan hal itu, dari tahun ketahun sistem pendidikan selalu menuai kritikan dan dari tahun ke tahun pula selalu dihadapkan dengan ketidakpastian. Menurut perspektif yang pernah saya baca, disini terdapat lima hal ganjil tentang pendidikan Indonesia dimulai dari teori minim praktik, dididik untuk mencari bukan untuk mencipta, kesenjangan sosial, kualitas guru yang masih minim, dan juga dimana siswa diharuskan mampu menguasai semua pelajaran, tetapi tidak difokuskan pada satu titik pembelajaran yang dianggap sesuai dengan kemampuan siswa. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia yang memfokuskan siswa-siswinya untuk mengejar nilai terbaik bagaimana caranya mendapatkan nilai 100 tidak peduli akan permasalahan “kejujuran” seolah – olah kecurangan seperti mencontek sudah menjadi hal biasa bahkan dianggap wajar di lingkup sekolah. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia yang memfokuskan siswa-siswinya untuk mengejar nilai terbaik bagaimana caranya mendapatkan nilai 100 tidak peduli akan permasalahan “kejujuran” seolah – olah kecurangan seperti mencontek sudah menjadi hal biasa bahkan dianggap wajar di lingkup sekolah. Nilai memang penting, nilai memang utama, tapi rasanya dengan sistem pendidikan Indonesia yang sekarang ini, nilai bukan lagi sebuah kacamata untuk melihat potensi siswa. Karena, kecurangan dan contek – mencontek tadi yang sudah menjadi budaya atau ciri khas para pelajar Indonesia. 


Sebenarnya, yang terjadi dengan sistem pendidikan sekarang sangatlah disayangkan, mengingat bagaimana kedepannya. Cobalah membuat suatu inovasi sistem pendidikan yang baru. Dengan sistem yang lebih mengasah jiwa kepemimpinan siswa, kejujuran siswa, keuletan, keterampilan, ketelitian, sampai ke kebahasaan. Mungkin ketika sistem pendidikan di Indonesia di ubah dengan sistem yang mengasah ke jiwa kepemimpinan siswa, kejujuran siswa, keuletan, keterampilan, ketelitian, sampai kebahasaan maka akan lebih mudah para murid murid di Indonesia ini untuk mewujudkan menjadi sang harapan bangsa. Mungkin permasalahan ini hanyalah waktu yang bisa menjawab.


Tim redaksi: Edukratif News


Previous Post Next Post