Lestarikan Makanan Tradisional, Tinem Produksi Tiwul Tiap Kemarau

kali dibaca

 


Edukratifnews.com/Inspirasi - Tinem (57) memproduksi tiwul sejak muda. Ia mengikuti jejak orangtuanya dalam proses pembuatan tiwul. 


“Dulu, setiap orang bisa membuatnya. Rame-rame pada ke sungai merendam gaplek (potongan singkong yang sudah direndam). Sekarang sudah jarang yang buat, maklum, karena prosesnya yang cukup memakan waktu, bisa nyampai satu bulan”, tuturnya.


Meski demikian, ia terus membuatnya setiap musim kemarau, sebab hanya di musim kemarau tiwul bisa bagus hasilnya. Pada musim ini matahari bersinar terik, sehingga gaplek bisa kering dengan sempurna. 


“Kalau tidak kering, hasilnya jadi jelek, kadang menimbulkan bau. Jadi harus benar-benar panas”, ungkapnya.


Tiwul mengandung vitamin C, Vitamin B kompleks, kalsium, zat besi, protein, hingga fosfor. Tentu tiwul ini menjadika makanan yang tidak sepele. Terkhusus lagi bagi yang sedang menjalani program diet, karena tiwul ini mengandung sedikit kandungan gulanya. 


Sekali produksi biasanya menghasilkan tiga sampai empat karung tiwul. Ia mengaku, produksinya hanya untuk konsumsi sendiri, namun bila ada pembeli yang mau membeli maka ia akan menjualnya. Baginya, membuat tiwul bukan hanya sekadar untuk konsumsi, namun ia juga melihat bahwa tiwul juga menjadi salah satu makanan tradisional yang harus tetap dilestarikan. 


“Tiwul juga menjadi saksi, bahwa dahulu kakek-nenek kita pernah sengsara. Tiwul masih menjadi makanan pokok waktu itu.  Saat ini kita sudah bersyukur bisa makan nasi setiap hari. Tidak seperti dulu, nasi masih jarang”, terangnya.


Tiwul berbahan dasar singkong. Kemudian di potong menjadi bagian lebih kecil. Direndam dalam air mengalir empat sampai lima hari. Kemudian dikeringkan, itu namanya gaplek. Gaplek itu harus dikeringkan sampai kering. Kemudian ditumbuk sampai halus. Tiwul sudah siap di masak. 


“Saat ini sedikit orang yang memproduksinya, selain orang yang bisa sudah mulai sedikit, tren tiwul juga menurun sebagai makanan pokok”, tambahnya.


Ia berharap meski sekarang sudah sedikti yang memproduksinya, semoga makanan tradisional ini tetap lestari.


Tim redaksi: Edukratif News



Previous Post Next Post