Cerpen: Dia

kali dibaca

EdukratifNews.com/Cerpen - Senja kembali menyapa, memberi kehangatan walau sesaat bagi setiap mata yang masih setia mengagumi nya. Bangku bangku taman terisi oleh beberapa orang yang sibuk menatap takjub warna oranye yang begitu memikat. Ah, andai saja kau selalu setia senja mungkin, aku tak perlu repot menunggu mu.


Aku Dila, wanita biasa dengan beberapa luka yang entah kapan bisa hilang. Aku duduk di salah satu bangku taman dekat sungai Han.Tempat yang begitu pas untuk menyaksikan sang senja pergi. Hiruk pikuk kota seolah tenggelam dalam lamunan semu yang ku buat sendiri. Ku masukkan kedua tangan di saku jaket yang ku kenakan. Entahlah, udara yang dingin atau hati ku yang sedang di guyur badai.


Layar ponsel ku menyala, sebuah pesan tertera dengan jelas. Aku tersenyum, senyum yang mulai jengah ku perlihatkan.


 [ "Apa kau masih betah di Korea? aku harap kau tak melupakan janji mu menghadiri pernikahan sahabat mu ini"]


Sahabat?


Bahkan aku lupa sejak kapan aku menganggap nya sahabat. Sebuah tepukan di bahu membuat ku menoleh.


 "Hai"


Sahabat ku, Selvia kini tersenyum dan duduk di samping ku. Untuk beberapa detik, ku biarkan sunyi menguasai kami.


 "Dia akan menikah!" ujar Selvia pelan nyaris tak terdengar.


 "Aku tahu"


 "Kau akan hadir?" tanyanya ragu


Ku pandangi wajahnya yang kini menatapku penuh selidik. Aku terkekeh melihat ekspresi nya.


 "Pemandangan nya sedang indah, senja akan pergi" jawab ku membuat nya menghela nafas.

......


6 tahun yang lalu


 "Aku mencintaimu"


Sorakan dan tepuk tangan memenuhi ruang kelas saat, seorang pria membungkuk dan memberikan sebuah bunga di hadapan ku. Aku terkejut tapi, aku juga bahagia.


 "Jadi lah kekasih ku" ujarnya lagi membuat tepukan tangan semakin keras. Wajahku terasa hangat, tangan ku rasanya berat walau hanya sekedar menerima bunga pemberian nya.


Terima!


Terima!


Terima!


Sorakan dukungan semakin membuat ku gugup dan malu. Leon, namanya Leon Alexander Abraham pria tampan yang begitu di kagumi para wanita. Siapa yang berani menolak pesona dari seorang Leon, aku yakin tidak ada.


Aku menerimanya dan akhirnya kami memiliki hubungan yang spesial. Ia memperlakukan aku dengan sangat baik, bahkan tak jarang ada saja kejutan yang membuat ku bahagia setiap harinya. Dia selalu ada, saat aku sedih dia rela menahan pegal di bahunya hanya agar aku bisa bersandar dengan nyaman sambil bercerita. Saat aku bahagia, ia ikut bahagia dan tersenyum.


Ah, dia sempurna dan tak ada celah untuk menilai buruk dirinya. Hingga pada akhirnya sebuah kenyataan harus ku terima. Malam itu, malam yang menjadi awal mula terciptanya alur yang ku benci dalam hidup. Sebuah malam yang menyadarkan ku akan sebuah perbedaan besar di antara kami.


 "Ada tempat yang baru terbuka, kita pergi besok ya?" pinta ku penuh harap. Seperti biasa, ia selalu tersenyum sebelum berbicara.


 "Maaf Dila, besok hari Minggu. Aku pergi beribadah. lain kali ya", ujarnya sedikit membujuk.


Sungguh, aku tidak marah hanya saja, entah mengapa tiba tiba ada rasa nyeri di hati. Aku mengangguk membuat nya mengusap pelan kepala ku.


 "Makasih" ujarnya


Hingga suatu hari, tak sengaja aku duduk di sebuah taman yang berdekatan dengan tempat ia beribadah. Ku lihat dari kejauhan banyak orang yang datang untuk beribadah di sana.Tak sengaja, manik mata ku melihat Leon di antara mereka. Ia begitu tampan dengan kemeja putih dan celana jinsnya. Aku terus memperhatikan dia sampai punggung lebarnya menghilang di balik pintu besar itu.


Aku masih setia duduk di bangku taman, sampai akhirnya satu persatu orang orang keluar dari gereja itu. Kevin terlihat sedang memainkan ponselnya. Ingin ku sapa, tapi bibirku kelu.Tubuh ku seolah hanya ingin memperhatikan dia.


Seorang anak kecil berlari ke arahnya, di tangan mungil itu aku melihat sebuah buku tebal yang ia peluk erat. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, yang pasti Kevin mengacak acak pelan rambut bocah itu.Tak sengaja Kevin melihat ku. Ia melambaikan tangan yang ku balas senyuman. Ia menyeberang jalan dan menghampiri ku.


 "Sedang apa disini?" tanyanya 


 "Tidak ada, tak sengaja mampir tadi," jawab ku jujur.


Aku memperhatikan nya, tidak bukan dia tapi sebuah kalung yang kini berada di lehernya.Tanda itu, tanda bahwa dia bukan milikku sepenuhnya.


 "Leon," panggil ku pelan


Ia menoleh


 "Menurut mu, bagaimana hubungan kita ini?" tanya ku membuat ia mengernyit kan dahinya.


 "Maksud ku, bagaimana kejelasan hubungan ini. Kau tahu, kita tidak bisa melupakan perbedaan kita begitu saja"


Ia membuang muka, menatap rerumputan hijau di bawah kakinya.


 "Pulanglah, ini sudah sore" ujarnya dan langsung meninggalkan ku.


Aku hanya menatapnya saja, tanpa berniat menegur ataupun mencegahnya.


Seminggu setelah kejadian itu, Leon tak lagi banyak bicara kepadaku. Aku kehilangan Leon ku, dia hilang aku tak tahu dimana. Beberapa hari sebelum kelulusan, aku mendengar kalau ia sedang dekat dengan wanita lain. Aku berusaha menepis itu. Aku yakin, Leon ku pasti kembali ia tak pernah pergi lama. Sore hari, aku memilih duduk di sebuah cafe. Menikmati cappucino kesukaan ku.Tidak jauh dari meja yang ku tempati, aku melihat satu meja yang penuh. Aku yakin itu satu keluarga. Dan tunggu, itu Leon.Ya, di sampingnya ada seorang wanita yang sangat cantik sedang menunduk malu. Sekilas, aku melihat Leon menatap ku. Aku yakin dia melihat ku tapi, kenapa dia hanya diam tanpa berniat menghampiri ku. Bulir bening ini tak bisa lagi aku tahan saat ku melihat Leon melingkarkan cincin di jari wanita itu. Haruskah aku menepis prasangka ini lagi?


Cukup


Aku tidak kuat lagi, memilih pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Sesekali aku menoleh, berharap Leon ku mengejar namun nyatanya mustahil.Semalaman aku menangis, bodohnya masih sesekali menatap layar ponsel menunggu namanya muncul.


Ia terus menghindar membuat aku semakin sakit. Hari kelulusan tiba, ku persiapkan diri secantik mungkin. Aku ingin berbicara pada Leon ku hari ini.


Setelah beberapa menit mencari sosoknya, aku melihatnya sedang berbicara dengan teman-teman nya. Namun, ia langsung diam saat melihat ku mendekat.


 "Kita perlu bicara" ujar ku pelan. Ia hanya mengangguk dan langsung pergi. Ku ikuti langkahnya.


 "Leon.."


"Sebaiknya kita menjadi teman saja" potong nya cepat.


 "Maksud mu?"


 "Kita putus. Kau benar kita tak mungkin bisa bersatu. Kau pantas bersama pria yang bisa membimbing mu dengan cinta yang sama untuk Tuhan mu"


"Tapi...


 "Mengerti lah untuk kali ini saja" ujarnya dan langsung pergi.


Waktu terasa berhenti, udara seketika lenyap membuat sesak yang begitu menyakitkan. Air mata ku luruh. Untuk pertama kalinya Leon menjadi alasan air mata ini. Ia bahkan tak memberikan bahunya lagi.

....

Disinilah aku sekarang, kota Seoul yang penuh dengan keindahan nya.Ya, aku memilih menjadi pengecut dan berlari untuk menghindar. Ku lanjutkan pendidikan ku di negeri ginseng ini.


Ku pandangi kembali bayangan wajahku di depan cermin. Gaun putih selutut menjadi pilihan terbaik. Setelah beberapa tahun aku kembali lagi di negara ku-Indonesia. Ku mantapkan hati memasuki gedung pernikahan. Dia masih sama, senyuman nya, wajah nya, tatapan nya. Di samping nya seorang wanita yang beberapa tahun lalu yang sempat aku lihat kini menggandeng tangan nya. Pasangan SEMPURNA.


Aku naik di atas pelaminan, membawa kado dan juga sebuket mawar putih.


Ia menatap ku kaget, ku lihat tangan nya sedikit terangkat namun secepatnya ia turun kan. Apa ia ingin memeluk ku?


Mustahil


Ku salami mempelai wanita yang kini sedang menunduk. Ku serahkan kado dan juga bunga yang telah aku bawa.


 "Selamat ya" ujar ku sambil tersenyum.


Biarlah aku sendiri yang akan menamatkan kisah ini. Terimakasih untuk DIA yang pernah selalu ada.


Sumber: Miftah Fadilah


Edukratif News - Good News for Better Life


Pasang Iklan: Klik Disini

Previous Post Next Post