Cerpen: Sepenggal Kisah

kali dibaca

Cerpen - Aku terkantuk-kantuk sambil mengisi kitab kuning. Entah hawanya yang mendukung atau aku yang bebal. Rasanya tidur beberapa menit bisa membantu otakku bekerja semestinya. Tapi bagaimana caranya?


Aku duduk di bangku paling depan. Jelas Ustadz Haidar bisa melihat bahwa aku sudah tak fokus. Berkali-kali menguap dan mengubah posisi duduk. Dari bersila lalu selonjoran dan duduk ala tahiyat akhir. 


Suara Ustadz Haidar semakin lama semakin mendayu-dayu di telingaku. Aku melirik jam yang ada di atas papan tulis hitam. Jarumnya seolah melambat. Enggan bergeser.


Aku masih mencari cara agar mataku tidak segera menutup. Melirik ke arah jendela, ada beberapa santriwan kecil melintas. Salah satu dari mereka menoleh ke arahku. Lalu dia tertawa cekikikan.


Pemandangan di luar tak cukup mengalihkan rasa kantuk yang mendera hebat. Semua benda remang-remang seolah ada dua bersisian.


'Ilahi Rabbi, aku ga kuat ini,' batinku sebelum akhirnya memutuskan benar-benar memejamkan mata. 


********


"Sa, kamu berani banget ya tiap hari tidur di kelas,"tukas Fitroh mengawali perbincangan kami.


Aku mengangguk lesu. "Aku ngantuk banget tahu. Suara Ustadz Haidzar yang kalem jadi kayak lagu nina bobo di telingaku."


"Kamu ga takut kena hukum berdiri selama jam pelajaran?"


Tawaku pecah. "Jangan samakan beliau dg Ustad Khoiron, Fit."


Fitroh tergelak. Lalu kami berdua mengingat memori dimana kami di hukum selama jam mengaji karena datang terlambat selepas istirahat sholat ashar. 


"Kenapa ya Ustadz Khoiron itu galak banget ya, Salsa? Padahal bukan termasuk jajaran ustadz pengurus."


"Justru karena beliau galak kita bersungguh-sungguh belajarnya, hehe."


"Aku justru jadi malas belajar loh dengan di hukum seperti itu, sa."


"Kita kan emang salah, Fit. Datang telat karena antri beli cireng."


"Iya sih. Cuma aku gak suka dengan hukuman seperti itu. Baru sekali aja udah di suruh berdiri di belakang kelas sampai selesai. Terlalu lama."


'Iya juga sih, kami di hukum selama hampir satu jam,' batinku.


"Menurut kamu hukuman yang tepat bagi kita apa, Fit?"


"Ini menurutku ya, Salsa. 15menit aja itu udah cukup. Kita telat ga nyampe lima menit."


"Anak-anak yang lain yang sering telat bakal protes ke ustadz Khoiron jika kita diberi hukuman yang lebih ringan."


"Haduuhh, siapa sih di kelas ustadz Khoiron yang sering telat? Melisa dan Ayuning aja tuh."


"Ya tapi semua harus taat dengan aturan ... " Elakku.


Fitroh mendecih kesal. "Ck, kamu itu terlalu naif, Sa. Udah ah yang ada nanti kita bertengkar."


*******


Didiklah anak sesuai zamannya. Begitu nasehat yang aku terima dari Ustadzah Mutiara. Beliau adalah ustadzah yang membantuku menghafal Al Qur'an setelah lulus SMA.


Ya, aku memilih mondok. Bapak Ibu berat melepasku yang di harapkan mau kuliah di perguruan tinggi negeri. Tak sedikit pula tetangga yang mencibir.


"Buat apa sekolah ke SMA favorit kalau setelah lulus malah milih mondok ... "


Kini aku berada di posisi yang sama dengan Ustadz Haidar. Dua siswi yang ada di bangku depan tampak terkantuk-kantuk. 


Aku keluarkan  satu kantong permen rasa mint dari goodie bag.


"Ruqayyah .... " Panggilku pada salah satu siswi yang menahan kantuk. "Tolong bagikan permen ini ke teman-temanmu. Satu orang boleh ambil dua atau tiga."


Dia mengangguk kecil, "baik, ustadzah. Terima kasih ... "


Total ada 20 murid yang datang hari ini. 


"Terima kasih, ustadzah Salsa." Seru mereka setelah menerima bagian masing-masing. 


Ruqayyah mengingatkan pada diriku yang dulu. Sering mengantuk saat mengaji. Dan kini aku mencontoh ustadz Haidar yang belum pernah sekalipun marah atau menghukum karena ulahku itu. 


Bisa saja aku meniru cara ustadz Khoiron memberi hukuman. Tapi apakah akan efektif?


Sumber: Nuzulul Ilmi


Edukratif News - Good News for Better Life


Pasang Iklan: Klik Disini

Previous Post Next Post