Antara Jarak dan Waktu [03]

kali dibaca

 


[Chapter 2]


Setelah berbincang cukup lama dengan Sanggar dan debat yang cukup melelahkan, akhirnya aku pulang ke rumah Eyang diantar oleh dia. Tanganku menggenggam erat batang kayu yang juga dipegang Sanggar tapi berbeda ujung. Sanggar berjalan di depanku. Memang dari awal sejak kami bertemu, dia memintaku memegang batang kayu itu saat mengantarku pulang selepas berkegiatan dari rumah pohon. Tidak, aku dan Sanggar bukan seperti yang banyak dibayangkan. Alasannya hanya agar aku tidak terjatuh karena penglihatan malam dia lebih baik dariku.


"Nggar!"


Sanggar menoleh ke arahku lalu mengangkat dagu, wajahnya tidak terlihat karena kegelapan hutan tanpa lampu penerang. "Hati-hati Timur di sekitar sini ada banyak kerikil!"


"Aduh!" Ah, harusnya aku tadi mendengarkan dia sebelum melangkah dan kali ini aku benar-benar tersandung. Untung saja tangan kanan Sanggar bersedia menjaga agar tubuhku sepenuhnya tidak terjatuh. "Padahal baru saja aku bilang, Timur!"


Aku mengomel kesal mendengar ucapan sok bijak Sanggar. Lalu aku sedikit menunduk mengusap lutut yang terasa sedikit nyeri. Tiba-tiba dia berlutut di hadapanku lantas menyalakan senter kecil milik dia. Mungkin Sanggar hanya ingin memastikan kakiku baik-baik saja. "Lututmu terkilir dan punggung kakimu lecet, Timur," kata Sanggar.


Aku hanya diam. "Sakit banget, ya?" tanya dia.


"Pikir saja sendiri!" jawabku ketus. Sanggar memberiku senter yang sebelumnya dia pegang. Kemudian dia merogoh saku celana hitam yang dia kenakan, mengeluarkan sapu tangan berwarna navy dan mengusapkan ke lukaku. "Sanggar, tidak perlu!" seruku mencegah.


Tapi lengannya tetap kokoh mencengkram kakiku, dia mendongak sembari menggeleng pelan. "Bertahun-tahun aku mengenalmu saja tidak pernah melukaimu tapi batu kecil yang hanya lewat sejenak saja bisa melukaimu, aku tidak suka kamu terluka, Timur," Kenapa sih? Dia selalu mengucapkan kata-kata bodoh yang banyak tidak kupahami. Andai saja kamus menyediakan kosa-kata seperti itu aku pasti akan sering membuka kamus tersebut.


Usai mengurus luka kecilku, Sanggar pun berdiri dan memberiku batang kayu itu lagi "Ayo, kalau kemalaman, takut Eyang marah," ucap dia.


Aku hanya mengangguk lalu meraih batang kayu tersebut. Lima menit lamanya, akhirnya aku dan Sanggar tiba di depan teras rumah Eyang. Aku pun menoleh ke arah dia. "Terima kasih, apakah tidak apa-apa jika kamu pulang sendiri? " tanyaku.


Sanggar mengangguk mantap, wajahnya selalu mencoba meyakinkanku dalam segala hal, seolah tak akan terjadi apa apa. "Aku pulang, ya. Titip salam dan tolong pamitkan ke Eyang sekalian, " timpal Sanggar.


"Nggak mau mampir untuk berpamitan sendiri?" tanyaku lagi.


"Tidak perlu, sepertinya Eyang juga sudah tidur, nggak enak kalau mengganggu," jelas dia.


Ah, aku baru ingat jika Sanggar adalah orang yang selalu 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘦𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯. Setelah mengatakan beberapa kata singkat itu, dia mulai beranjak pergi dari rumah Eyang. Aku terus memandangi punggung Sanggar yang dibalut dengan kaos lengan pendek berwarna putih, semakin lama semakin hilang sosok dia dari pandanganku. Karena aku yakin jika dia tidak akan muncul lagi dan benar-benar sudah pergi, aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, dan mengunci semua pintu serta jendela di dalam rumah ini.


Beberapa menit berlalu dan aku sudah selesai bersih-bersih. Akhirnya aku mulai beranjak ke kasur kesayanganku dan meraih ponsel miniku. Entah mengapa aku merasa harus mengirimkan e-mail ke lelaki itu. Hanya untuk memastikan.


###


Timur Chayana : Nggar


Sanggar Dhiyadhi : Iya?


Timur Chayana : Sudah sampai?


Sanggar Dhiyadhi : Sudah, kenapa?


Timur Chayana : Tidak, hanya memastikan.


Sanggar Dhiyadhi : Khawatirin aku ya?


Timur Chayana : Nggak, tuh.

Aku jadi males kalau kamu kegeeran seperti ini.


Sanggar Dhiyadhi : ^^ Besok berangkatnya bareng aku aja. Tidur ya, besok kita berangkat pagi. Good dreams, Timur Chayana.


###


Penulis: Sandrina Diva Mattarani

Penyunting: Resza Mustafa


#cerbung #ceritabersambung


Tulis Komentar

Previous Post Next Post