Biru

kali dibaca

 

(Ilustrasi warna biru. (Gambar oleh Thanks for your Like • donations welcome dari Pixabay)

Sore itu, hujan deras mengguyur dedaunan berdebu, juga menyelimuti cantiknya cahaya magic hour dengan langit kelabu. Reina, siswi kelas tiga sekolah menengah pertama, sedang duduk menunggu bus di halte samping sekolahnya. Cukup lama ia menunggu, hingga hanya tersisa dirinya yang berada di halte bus itu. Hari itu, Reina pulang terlambat, tidak seperti biasanya, karena mengurus surat rekomendasi untuk olimpiade yang diikutinya. Setelah satu jam menunggu, akhirnya bus itu pun datang. Di dalam bus, hanya tersisa satu bangku. Reina meminta izin siswa sekolah menengah atas untuk bertukar tempat agar dirinya bisa duduk di dekat jendela. Untungnya, anak sekolah menengah atas itu dengan baik hati mengizinkannya. Reina tersenyum seraya memandangi jendela yang berembun oleh tetesan air hujan. Mungkin bagi sebagian orang, hujan sore itu cukup menyebalkan, termasuk untuk ibu-ibu di depannya yang terus-menerus mengomel karena baju dan belanjaannya basah kuyup. Tapi tidak untuknya, karena baginya hujan merupakan anugerah terindah yang pernah ada.

Bus melaju menyusuri jalanan perkotaan, memperlihatkan pemandangan cantik, yang hanya terlihat saat turun hujan. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba saja ban bus tergelincir menabrak tepat pada mobil-mobil yang berjajar rapi menanti lampu merah. Menyebabkan kecelakaan beruntun yang tidak dapat dihindari. Tidak sampai satu menit, aliran air hujan berubah menjadi lautan darah. Sirine-sirine ambulan terdengar sangat nyaring semakin mendekat. Tubuh Reina dibopong ke atas tandu, mobil ambulan yang mengantarkannya segera melaju membawanya ke rumah sakit. Di depan unit gawat darurat (UGD) para perawat segera menggotong tubuh Reina, memindahkannya ke ranjang pasien, lalu segera mendorong ranjang itu menuju ruang operasi. Para dokter telah siap dengan seragam operasi berwarna hijau. Reina mengalami pendarahan yang hebat, kaki kananya patah bahkan bisa dikatakan sudah hancur karena benturan keras kecelakaan. Dengan cekatan dokter menyuntikan anestesi, kemudian segera melakukan tindakan operasi. Para dokter dan seluruh perawat di ruangan itu kalang kabut melihat kondisi Reina yang kritis, berusaha sekuat tenaga menyelamatkan nyawanya.

Di depan ruang operasi, kedua orang tua Reina melantunkan doa dan menggemakan harapan, menanti putri kecilnya yang sedang berjuang. Setelah enam jam operasi, dokter keluar dan menyampaikan bahwa operasi berjalan lancar, namun mereka harus bersiap menghadapi kenyataan yang ada. Setelah operasi, Reina dipindahkan ke ruang pemulihan atau recovery room untuk pemantauan awal, sebelum akhirnya dipindahkan ke ruang rawat biasa setelah kondisinya stabil. Setelah sepuluh jam berlalu, akhirnya Reina siuman. Namun, ada sesuatu aneh yang ia rasakan, "Ibu, Ibu! Kenapa kakiku tidak bisa digerakkan?" jeritnya dengan penuh kepiluan. Kedua orang tua Reina segera memeluknya, mencoba menenangkan putri kecil mereka. Kaki kanan Reina telah diamputasi, amputasi adalah jalan terbaik mengingat kondisi kakinya yang sudah hancur. Reina meraung, menangis sekencang-kencangnya, mengeluarkan air matanya yang tak bisa terbendung lagi. Reina berteriak tidak terima, tak percaya dengan kenyataan pahit yang harus dihadapinya, berharap semua itu hanyalah mimpinya semata.



Kejadian lima tahun lalu menjadi luka terdalam bagi Reina. Kehilangan kaki kanannya juga berarti kehilangan mimpinya mimpinya mengikuti seleksi olimpiade renang nasional, mimpinya menjadi atlet renang profesional. Perjuangan dan latihan bertahun-tahun menjadi atlet renang, bahkan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar lenyap seketika. Kejadian tersebut juga membuatnya memilih homeschooling untuk melanjutkan pendidikan sekolah menengah atasnya. Ketika suatu hari, saat Reina berada di toilet sekolah, ia mendengar seorang anak dari kelasnya menyebutnya "Cacat menyusahkan!" dari balik pintu toilet. Namun, yang masih sama, Reina selalu terbayang ketika ia sedang berada di lintasan kola renang yang dulu pernah menjadi sahabat baiknya.

Reina membantu ibunya mengemas bandeng presto ke dalam plastik, lalu memvakumnya dan memasukkannya ke dalam kardus yang telah dicustom. Orang tua Reina memiliki industri rumahan serta toko oleh-oleh kecil yang menjual berbagai macam jajanan khas, seperti getuk, tape gembong, rengginang, carang madu, dan bandeng presto sebagai produk unggulannya. Reina tinggal di Juwana, sebuah daerah yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, dengan hasil lautnya yang melimpah, terutama ikan. Bandeng presto sendiri merupakan olahan ikan bandeng yang dimasak dengan teknik presto sehingga durinya menjadi lunak. Biasanya, orang tua Reina juga memasok bandeng presto dan jajanan lain ke toko oleh-oleh yang lebih besar di kota.

Pagi itu, setelah membantu mengemas bandeng presto, Reina bersiap-siap pergi ke klinik untuk membuat kaki prostetik baru. Selama ini, ia menggunakan kaki palsu biasa yang masih membutuhkan bantuan dari forearm crutches—alat bantu jalan yang menggunakan lengan bawah sebagai tumpuan. Kaki prostetik mekanik yang dibuat secara khusus tidak murah, harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Meski orang tuanya telah menawarkan untuk mengantarnya ke klinik, akan tetapi Reina bersikeras menolak, ia ingin pergi ke klinik sendiri.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama satu setengah jam dengan taksi, Reina tiba di klinik ortopedi dan prostetik. “Permisi, saya ingin membuat kaki prostetik,” ucap Reina saat memasuki ruang pelayanan. Seorang pria yang sedang bekerja di balik meja menoleh “Reina?” ucapnya, tampak terkejut. Reina menatap pria itu dengan kebingungan “Maaf, siapa ya? Bagaimana anda mengenal saya?”, tanyanya pelan sambil melangkah perlahan dengan bantuan forearm crutches yang menopang tubuhnya. Pria itu adalah Ethan, siswa sekolah menengah atas yang duduk di samping Reina saat kecelakaan beruntun yang menewaskan tiga orang lima tahun yang lalu. Sejak kecelakaan itu Ethan tidak pernah melihat Reina lagi menaiki bus untuk berangkat ke sekolah. Setelah lulus dari sekolah menengah atas Ethan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di jurusan ortotik prostetik. Jurusan yang mempersiapkan lulusannya untuk menjadi tenaga kesehatan yang mampu merancang, membuat, dan menyesuaikan alat bantu gerak untuk pasien dengan disabilitas fisik. Di dalam lubuk hatinya, Ethan merasa bersalah mengizinkan Reina untuk bertukar tempat duduk dengannya di bus lima tahun lalu.


*Cerpen juga dimuat dalam majalah ZIKARA (ZINE KARYA GISTRA) - @gistraku dengan judul yang sama.


Penulis: Naiyla Rofiatun Nafiah

Penyelaras: Resza Mustafa


Tulis Komentar

Previous Post Next Post