Keutamaan Kitab Hadis Arbain

kali dibaca


Penulis:
Muhammad Kamal Abdillah, Mahasiswa Al azhar, Mesir & Alumni Mansajul Ulum, 2018


Terbit pada:
Kolom Jum'at VI Pondok Pesantren Mansajul Ulum Cebolek Kidul


Dalam dunia pesantren, Kitab Arba’in Al-Nawawiyah bukanlah kitab yang asing lagi. Hampir semua tingkatan santri di pelosok negeri, mengenal Kitab karangan Imam Nawawi ini. Pengajaran dan pengkajian terhadapnya seolah menjadi keharusan. Tak jarang, di beberapa pesantren dan madrasah Islam, para santri dan siswanya malah diwajibkan untuk menghafal empat puluhan hadis dalam kitab tersebut. Tentunya anjuran ini bukan tanpa dalil. Selain dalil, empat puluhan hadis yang ada di kitab tersebut memang merangkum perkara-perkara dan kaidah penting dalam agama.


Di antara dalil yang melandasi anjuran mempelajari dan menghafal empat puluh hadis ini, adalah hadis Nabi SAW :


من حفظ على أمتي أربعين حديثا من أمر دينها بعثه الله يوم القيامة في زمرة الفقهاء والعلماء


Artinya: “Barang siapa dari umatku yang mau menghafal hadis terkait urusan agama mereka, maka Allah akan membangkitkannya kelak di hari kiamat bersama kumpulan para ahli fiqih dan Ulama’.”


Paling tidak ada sebelas Sahabat yang meriwayatkan hadis ini. Mereka adalah Ali Bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Anas Bin Malik, Jabir Ibnu Tsamroh, Abdullah Ibn Umar, Abu Umamah, Abu Darda’, Abu Sa’id, Abu Huroiroh, Ibnu Mas’ud, dan Muadz Ibn Jabal -Radhiyallahu ‘Anhum-. Meskipun hadis ini terdapat banyak jalur, tetapi semua jalur itu berstatus lemah. Imam As-Sakhowiy telah menjelaskan hadis ini dalam Kitabnya Al-Maqoshid Al-Hasanah. Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menuliskan kitab khusus tentang kedho’ifan hadis tersebut di semua jalurnya. Imam Nawawi-pun memberikan pernyataan yang tidak jauh beda. “Hadis ini dhoif dari segala jalurnya.” Ulama Kontemporer, Syekh Ahmad Shiddiq Al-Ghumari, pegarang Kitab Al-Arba’in Irsyadul Murbi’in Ilaa Thuruqi Hadis Al-Arba’in juga berkomentar demikiran dalam kitab tersebut.


Betapapun hadis ini lemah dari segala sisi thuruqnya, pengamalan hadis ini benar-benar bisa kita saksikan dari para Ulama yang berlomba-lomba mengarang Arba’in (kumpulan 40 an hadis) dengan beragam tema.


Ulama yang pertama kali mengarang kitab Arba’in adalah Al-Imam Al-Kabir Syaikhul Islam Abdullah Ibn Mubarok ( W 181 H ). Berarti sejak abad ke-dua Hijriyah, telah ada Ulama yang mengamalkan hadis tersebut. Maka, beliau-pun mengarang kitab yang berjudul Al-Arba’in. Setelah itu, terdapat Al-Alim Al-Kabir Muhammad Ibn Aslam Ath-Thusiy. Beliau adalah pasak Ulama di masanya, meskipun namanya terdengar agak asing di telinga kita. Diceritakan oleh Ibnu Khuzaimah; beliau ini adalah orang yang paling dekat dengan Allah pada masanya. 


Setelah itu, terdapat Al-Imam Hasan Ibn Sufyan An-Nasa’i, Abu Bakr Al-Jurniy, Abul Hasan Ad-Daroquthniy, Abu Abdillah Al-Hakim, Abu Nu’aim, pemilik Kitab Hilyah Al-Arba’in As-Shufiyyah, Abu Sa’id Al-Maliniy, Abu Abdirrahman As-Sulamiy, Al-Hafidz Abul Qosim Ibnu Asakir yang mengarang beberapa Kitab Arba’in. Imam Suyuthiy juga mengarang kitab 40 hadis yang diriwayatkan oleh Nafi’ dari Ibnu Umar. 


Dari Ulama Muta’akhkhirin terdapat Syekh Abdullah Shiddiq Al-Ghumari yang  mengarang kitab Al-Arba’in Al-Ghumariyah Fii Syukri An-Ni’am. Demikian juga Syekh Abdul Aziz Ash-Shiddiq yang mengarang Kitab Al-Arba’in Al-‘Aziziyyah Fiimaa Akhbaro Bihi An-Nabiy. 


Banyaknya pengarang kitab hadis Arbain telah membuktikan bahwa para Ulama salaf telah mengamalkan hadis tentang anjuran menghafal dan menjaga empat puluh hadis. Hingga terdapat ungkapan bahwa Hadis Arba’in yang telah dikarang oleh para Ulama tidak bisa terhitung lagi. 


Lantas, kenapa hadis ini diterima dan diamalkan meskipun lemah? 


Alasan yang pertama, tidak ada masalah untuk menerima hadis dhoiif sebagai pedoman dalam melaksanakan fadhoilul a'mal (keutamaan amal). Para ulama sunni membolehkan untuk mengamalkan hadis dho’if selama isinya berkaitan dengan masalah fadhoilul a’mal (keutamaan amal), sebagaimana yang tertutur dalam Kitab Arba’in Al-Nawawiyyah sendiri :


وقد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال


Dalam kasus yang sama, Al-Hakim dalam Al-Mustadrok juga demikian. Ia  mempermudah urusan hadis yang berhubungan dengan fadhilah, pahala, siksa, hal-hal yang mubah, atau do’a-do’a :


إذا روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم في الحلال والحرام والأحكام شددنا في الأسانيد وانتقدنا الرجال وإذا روينا في فضائل الأعمال والثواب والعقاب والمباحات والدعوات تساهلنا في الأسانيد


Alasan kedua, kalaulah hadis ini tsabit, memang benar-benar dari Nabi SAW, maka sebuah nikmat bagi kita. Karena kita tidak meriwayatkan hadis yang salah. Tapi kalaupun tidak Tsabit, seorang penghafal dan pengkaji hadis tentu tidak salah. Apalagi dengan niat mencintai Nabi dan menghidupkan sunnahnya. Justru itu pasti bernilai kebaikan.


Banyaknya Ulama yang mengarang kitab Arba’in, sangat terlihat harapannya yang begitu kuat untuk kaum muslimin, agar paling tidak mereka bisa menghafal 40 hadis. Selain bahwa ini adalah bagian dari bukti kecintaan seseorang terhadap Nabinya, 40 an hadis yang telah dihafal tentu ini akan sangat berguna bagi penghafalnya. Apalagi Arba’in Al-Nawawiyah isinya adalah kumpulan kaidah-kaidah pokok agama. Inilah salah satu sebab Arba’in Al-Nawawiyah menjadi kitab Arba’in yang paling unggul diantara kitab Arba’in yang lain. 


Syarah atas Arba’in Al-Nawawiyah ini sangat banyak, hingga tak terhitung. Imam Nawawi sendiri adalah pensyarah pertama kitab ini. Kemudian Al-Hafidz Taqiyyuddin Ibnu Daqiqil ‘Ied, Mujaddid abad ke-tujuh, murid kinasih dari Sulthonul Ulama’ Syekh Izzuddin Ibn Abdissalam juga menulis syarah hadis Arbain. Ibnu Daqiiqil ‘Ied punya syarah atas Arba’in Nawawiyah yang cukup ringkas, tapi di dalamnya ada faidah-faidah yang langka yang tidak terdapat di syarah-syarah lain. Ada lagi Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hanbaliy yang didaku punya syarah yang paling baik atas Arba’in Al-Nawawiyah ini. Ibnu Rojab bahkan menambahkan delapan hadis lagi untuk menyempurnakan 42 hadis yang ada di Arba’in Al-Nawawiyah. Lalu 50 hadis itu disyarahi dan diberi nama Jami’ Al-Ulum Wa Al-Hikam Fii Syarhi Khomsiina Hadisan Min Jawami’ Al-Kalim. Ibnu Hajar Al-Haitamiy juga tak luput untuk ikut berpastisipasi mensyarahi kitab agungnya Imam Nawawi ini. Demikian pula Syekh Abdur Ra’uf Al-Munawi. Beliau punya syarah atas Arba’in Nawawiy yang menurut Syekh Abdul Hayyi Al-Kattani dianggap sebagai syarah terbaik secara mutlak. Selain syarah-syarah yang telah saya sebut, masih banyak lagi syarah atas kita Arba’in yang tidak bisa penulis sebutkan seluruhnya. Banyaknya syarah atas kitab ini membuktikan betapa penting isi dari kitab ini bagi kaum muslimin.


Alasan ketiga, selain karena jumlahnya yang tidak terlalu banyak, -sehingga tidak terlalu sulit untuk dihafal-, bilangan 40 ini juga mempunyai banyak rahasia dan keistimewaan. Bilangan 40  adalah bagian dari bilangan-bilangan penyempurna. Allah SWT pertama-tama berjanji akan mengajak bicara langsung kepada Nabi Musa dan memberikan Taurot kepadanya setelah 30 malam. Selama itu, Nabi Musa melakukan puasa di siang harinya. Genap 30 hari berpuasa, Allah memerintahkan untuk menyempurnakan puasanya menjadi 40 hari dengan menambah 10 hari lagi. Demikian yang termaktub dari Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsiri ayat berikut :


وَوَٰعَدۡنَا مُوسَىٰ ثَلَٰثِينَ لَيۡلَةً وَأَتۡمَمۡنَٰهَا بِعَشۡرٍ فَتَمَّ مِيقَٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرۡبَعِينَ لَيۡلَةًۚ


Dalam ayat lain juga tersebutkan :


حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرۡبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوۡزِعۡنِىٓ أَنۡ أَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنۡعَمۡتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنۡ أَعۡمَلَ صَٰلِحًا تَرۡضَىٰهُ وَأَصۡلِحۡ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓۖ إِنِّى تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ 


Ibnu Abbas menafsiri umur 40 tahun ini dengan berkata; “Brang siapa yang usianya telah mencapai 40 tahun, namun kebaikannya belum mengalahkan keburukannya, maka bersiap-siaplah untuk masuk neraka. Syekh Usamah Sayyid Azhariy mengatakan umur 40 adalah sempurna-sempurnanya umur. Angka 40 memang mempunyai kesakralan tersendiri, termasuk para Nabi-pun diangkat menjadi seorang nabi di umur yang ke-40. Dan masih banyak lagi rahasia-rahasia angka 40 ini.


Alasan keempat, Ibnu Asakir dalam Kitabnya Al-Arba’in Al-Buldaniyyah, menyatakan bahwa meskipun kitab hadis Arbain terdapat hadis dho’if dari segala jalurnya, tapi adanya banyak hadis yang senada, menjadikan hadis ini menjadi kuat. Karenanya ulama tidak keberatan terhadap pengamalan hadis ini. Karena hadis ini memberikan dorongan kuat terhadap kaum muslimin untuk berlomba-lomba mempelajari atau menghafal hadis Nabi SAW meskipun mungkin hanya 40 an hadis. 

Previous Post Next Post