Bagaimana Menjadi Manusia Ketika Dihadapkan dengan Cinta dan Cita-cita?

kali dibaca


Penulis: Kismunthofiah (Mahasiswa KKN Prodi Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang)


Naluriah manusia pasti memiliki keinginan dan harapan. Tak jarang hal tersebut diekspresikan dalam bentuk kasih, sayang ataupun cinta. Disisi lain manusia juga memiliki progress dalam hidup yang diwujudkan melalui cita cita. Dalam pengertian sederhana, cita-cita adalah keinginan terhadap sesuatu di masa depan. Cita cita sering dilekatkan dengan kesuksesan, baik itu melalui jalur akademik maupun jalur non akademik. Saya, salah satunya menempuh cita cita dengan jalur akademik melalui pendidikan di bangku perkuliahan.


Menyoal cita-cita, beberapa orang memilih mendalaminya sedari kecil. Banyak dari masyarakat di sekitar kita, yang memulainya dari bangku sekolah dasar, menengah, atas hingga perguruan tinggi. Mereka berasumsi bahwa “saya harus dapat membanggakan orang tua melalui cita cita yang tercapai”. Walhasil banyak usaha yang membuahkan hasil, yaitu terwujudnya cita cita menjadi profesi tertentu, seperti guru, polisi, pilot, arsitek dan lain sebagainya. 


Bagaimana Bercita-cita?

Dr. Fahrudin Faiz mengutarakan cita-cita dalam Ngaji Filsafatnya terkait ide. Ide merupakan gagasan, rancangan yang tersusun di dalam pikiran atau sering disamakan dengan cita-cita. Ide ketika disusun bersama ide yang lain akan menjadi hierarki yang terstruktur dan terbentuk dengan baik. Apabila dikaitkan dengan ranah sosial, maka hal itu menjadi ideologi (ide: gagasan, logos: ilmu). Sehingga didapatkan pengertian bahwa ideologi berarti kumpulan ide atau gagasan, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, atau pengalaman-pengalaman.


Misalnya ada seseorang yang ingin menjadi A, seseorang ingin menikah di usia B, ingin mendapat pekerjaan di usia C, maka seyogyanya ia merencanakan, membuat wishlist tentang keinginan-keinginan tersebut lalu berusaha menyusun strategi agar dapat tercapai sesuai target. Dalam bercita cita pun tidak lantas berjalan sama sesuai harapan, terkadang manusia diberi ujian melalui kegagalan. Saat kalian gagal tidak masalah, masih ada kesempatan untuk bangkit lagi hingga jatah gagalmu habis. Jangan lupa melibatkan Tuhan dalam setiap keinginan yang ingin dicapai.


Dalam QS. Ali Imran Ayat 26 Allah berfirman:


Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki (QS. Ali Imran: 26).


Dalam ayat tersebut jelas tercantum bahwa Allah akan memberi kuasa-Nya kepada siapapun yang dikehendaki. Ketika dikorelasikan dengan cita-cita, siapapun yang dikehendaki Allah bisa saja tercapai cita-citanya, asal manusia mau berikhtiar, bertawakkal senantiasa optimis dan bersemangat untuk menggapai apa yang diinginkan. Kuasa Allah mampu merubah sesuatu yang mustahil terjadi menjadi mungkin sebagaimana perisiwa penguasaan terhadap tanah Persia dan Romawi yang dilakukan oleh Rosulullah SAW. Padahal waktu itu kaum muslim hanya memiliki 3000 pasukan, berbeda dengan tentara Persia & Romawi yang berjumlah 10.000 pasukan. Segala Puji bagi Allah, pasukan muslim berhasil memenangkan peperangan.


Cinta Datang Ketika Bercita-cita

Dalam berjalannya hidup, setiap orang memiliki jalan yang berbeda-beda dalam lika likunya. Termasuk perkara cinta. Bagi pembelajar, datangnya cinta dapat dianggap sebagai anugerah namun ada yang menganggap hal itu musibah. Cinta dapat dianggap memberikan daya atraktif apabila mendatangkan semangat tersendiri dalam belajar. Namun ada tipe manusia yang menganggapnya sebagai gangguan dalam proses pembelajaran karena menimbulkan narasi “terlalu bucin, pacaran berlebihan’’ dan lain sebagainya. Namun kembali lagi hal tersebut adalah subjektivitas masing-masing personal. Apabila manusia tersebut dapat membagi waktu antar keduanya, kenapa tidak? I mean, pembelajar dan pecinta, hehe…


Fahrudin Faiz, Dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam Ngaji Filsafat menambahkan kembali perihal bab cinta. Manusia menurutnya membutuhkan cinta, bahkan beliau mengutarakaan:


“Life without love is no life at all” (hidup tanpa cinta tidaklah hidup sama sekali). Hidup tanpa cinta diibaratkan kosongnya kehidupan. Allah memberikan cinta sebagai fasilitas yang mewah. Jika tidak ada cinta, yang muncul hanyalah egoisme –perasaan ingin menang sendiri, tanpa mau berbagi dengan yang lain. Allah mengutaranya persetujuan adanya cinta dalam QS. Maryam ayat 96:

 

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang (QS. Maryam ayat 96).


Maka dari itu, sebagai manusia selayaknya tetap memiliki cinta. Cinta yang dimaksud bersifat general, antara anak dengan orang tua, antara teman atau antara kekasihnya. Dalam konteks cita-cita, tentu yang dimaksud adalah cinta antar lawan jenis yang dikhawatirkan mengganggu konsen dalam belajar atau meraih cita cita yang diinginkan. Ketika dihadapkan dengan pilihan, hal tersebut dikembalikan kepada si pemilik hati tentunya. Ia boleh memilih apakah ingin menggapai cita cita terlebih dahulu atau menjadikan keduanya berjalan beriringan karena sesuai keyakinan hatinya, keduanya dapat sukses untuk diraih. Wallahua’lam bisshowab..




Tim redaksi: Edukratif News




Previous Post Next Post